“Pedagang Kaki Lima dan Asongan - Riwayatmu kini”
Penertiban pedagang asongan
dan kaki lima yang dilakukan baik di atas moda transportasi ‘ular besi’ maupun
di sejumlah stasiun seolah menjadi ‘petak umpet’ yang tidak berkesudahan. Persoalan
negeri ini antara ingin memperbaiki citra pelayanan yang dihadapkan dengan masalah
ekonomi yang menimpa para pedagang kaki lima dan asongan di stasiun kereta api
menjadi dilema tersendiri.
Entah mana yang benar
dan salah dari upaya penertiban ini, namun yang menjadi sorotan masyarakat
adalah nasib yang kini menimpa para pedagang tersebut. Saat ratusan juta nyawa nyaman
berselimut di keheningan malam hingga pagi buta, mereka justru harus berkutat mengisi
kantung-kantung uang hasil dagangan. Panca indera mereka dipaksa untuk tetap
terjaga untuk dapat bertahan hidup.
Siti, 57 tahun,
pedagang asli kota santri, mengaku bahwa ia harus rela antri sedari fajar
menyingsing untuk membeli gorengan dari pasar tradisional. Setiap harinya,
gorengan berwarna kecoklatan dan berbau gurih tersebut kembali ia jual di
Stasiun Tasikmalaya. Kadang laku terjual dan kadang tidak sama sekali. Sungguh
tidak menentu.
Selain gorengan, nasi
berlauk ayam adalah jenis makanan yang dijajakan oleh para pedagang asongan.
Sebagian masih hangat, dan sebagian lain sudah dingin tak membangkitkan selera.
Sekilas tak ada yang
mewah dari makanan yang mereka jual. Harganya murah namun mampu mengganjal
perut penumpang. Hampir tak pernah terlintas dalam benak mereka untuk meraup
keuntungan lebih cepat dari peluit kereta yang siap bergegas ditiup petugas
stasiun kereta api.
Tak seperti dulu saat
mereka dapat turut berjualan di atas kereta dari stasiun ke stasiun, kini para
pedagang asongan harus berlari menyerbu gerbong penumpang untuk menjajakan
dagangan mereka dengan limit waktu yang singkat. Hitungan menit menjadi amat
berharga. Tidak sampai 10 menit mereka harus segera beranjak dari transaksi
singkatnya.
![]() |
Petugas Keamanan Berjaga-jaga di sekitar Stasiun Cipendeuy |
‘Kucing-kucingan’
dengan petugas merupakan hal yang biasa. Saat masinis mulai menjalankan kereta
api jagoannya, tak jarang mereka kalang kabut dan kelimpungan. Beruntung jika
transaksi jualan mereka telah usai. Namun jika transaksi masih berlangsung
sedangkan pintu gerbong kereta api harus segera terkunci, maka tak tahu apa
yang mereka harus pertaruhkan. Pada akhirnya bunyi peluit petugas keamanan lah
yang berlaku tegas memaksa mereka untuk bergegas turun dari singgasana kereta
api.
Nasib sama pun menimpa
pedagang kaki lima yang menggelar “lapak”nya di sekitar stasiun. Pemilik jongko-jongko
liar kini tak lagi menampakan batang hidungnya. Alih-alih takut dengan petugas
keamanan di stasiun, mereka lebih memilih untuk menghentikan usaha kecil yang
keuntungannya tidak seberapa tersebut. Hanya segelintir jongko yang sudah
mengantongi izin resmi lah yang masih bisa bertahan berniaga.
Selamat datang di
negeri dengan proses ‘remedial’ citra pelayanan kereta api!
![]() |
Saya Melakukan Wawancara Langsung Dengan Bu Siti, Pedagang Gorengan di Stasiun Tasikmalaya |
As published on INTIMATA e-magz
Photo courtesy :
Photo 1 s.d 3 (Koleksi Pribadi) dan Photo 4 (one of copywriters at INTIMATA e-magz)
Photo courtesy :
Photo 1 s.d 3 (Koleksi Pribadi) dan Photo 4 (one of copywriters at INTIMATA e-magz)