Dinginnya malam ditemani sebatang
coklat susu Swiss mengantarkan saya pada sebuah tulisan sederhana. Tulisan ini
sebenarnya sebagai latihan untuk saya pribadi tentang sebuah proses
menghasilkan karya berupa tulisan. Gampang-gampang susah itu yang saya rasakan
ketika menulis. Apalagi dengan mood yang kadang pengaruh banget saat menulis.
Belum lagi ketika mau memulai menulis bahkan selama menulis ada saja halangan.
Halangan itu bisa saja dari lingkungan sekitar yang bisa mengacaukan keseriusan
saat menulis. Memang sebaiknya ketika menulis sebisa mungkin memilih tempat
yang tenang, damai, ditemani dengan suguhan musik penyeimbang jiwa dan trik
lain yang bisa menambah kenyamanan dan keseriusan saat menulis.
Sempat terlintas di fikiran saya
untuk menulis tentang sebuah proses untuk menjadi dewasa. Memang terdengar
berat. Well, let’s talk about being mature! Yeayyyy... Sebenarnya jika kita
telaah lebih dalam lagi menjadi dewasa itu memang sulit. Dewasa berarti
memiliki kematangan fikiran, kebesaran jiwa, kejernihan hati. Siap untuk
bersabar apalagi siap tersakiti. Tapi dibalik itu semua, apa yang telah saya
rasakan selama 25 tahun ini banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik.
As you know, Puncak masalah terberat dalam hidup saya pernah dialami
saat berusia 23 tahun. Pelik.. sakit.. rumit.. putus asa.. yang saya alami kala
itu. Rasanya dunia ini sangat tidak bersahabat dengan saya. Tanpa pertolongan Tuhan
rasanya mungkin saya tidak akan seperti hari ini. Hari ini saya masih bisa
tertawa lepas atas lelucon rekan kantor, menghirup bau tanah saat pagi hari,
mendengar suara anjing yang melengking di telinga saya. Oh Tuhan.. tanpa
pertolonganMu, mungkin saya akan terus terpuruk kala itu.
Dewasa..satu kata yang gampang
diucapkan, hanya butuh beberapa detik, tetapi latihannya seumur hidup. Dewasa
cukup dikalahkan dengan satu kalimat saja yaitu “EGO”. Dewasa pun tidak bisa
diukur dengan matangnya usia sesorang. Tapi dewasa identik dengan cara pandang
kita dalam melihat sesuatu. Saya misalnya dengan segudang pengalaman baik itu
buruk maupun baik belum tentu dewasa. Ada beberapa kasus dimana saya tidak
dewasa tetapi pada beberapa kasus lain bisa saja saya dewasa menghadapinya.
Jadi bukan berarti kita dituntut terus-terusan mendewasakan diri. Mungkin ada
kalanya kedewasaan dapat tumbuh perlahan-lahan. Sejatinya memang faktor
kesabaranlah dan positive thinking
yang menjadi kunci untuk menghadapi orang-orang yang belum dewasa secara
maksimal dan melatih kedewasaan kita tentunya.
Pernah saya alami saat salah satu
rekan kerja saya meminta tolong menemani ke suatu tempat, tetapi dalam kondisi
saya sedang tidak bisa memutuskan saat pukul berapa saya bisa menemaninya. Saya
memberikan kisaran waktu padanya untuk bisa bertemu saya saat pulang kerja
namun dengan catatan “perkiraan waktu jam pulang kantor”, kebetulan jam pulang
kerja kantor saya tidak bisa diprediksi, bisa lebih dari pukul 5 sore tetapi
bisa lebih. Ia pun sepakat dengan mengiyakan kondisi saya saat itu. Ketika ia
menunggu saya di suatu tempat untuk bertemu tanpa sengaja saya terlambat dan ia
mulai kesal dengan keterlambatan saya. Padahal dari awal pembicaraan kan saya
sudah bilang untuk mengerti kondisi waktu yang saya punya. Tetapi ketika ia
akhirnya berhasil bertemu dengan saya, ia malah menggerutu. Seharusnya dia bisa
dewasa menanggapi keterlambatan saya karena kondisi pekerjaan saya yang memang
jam pulang kantornya tidak bisa diprediksi. Saya coba memberikan pengertian
kepadanya dan akhirnya dia berhasil tidak menggerutu lagi. Jadi selain sabar, positive thinking, juga yang terpenting
adalah komunikasi yang tepat. Itu sepertinya faktor-faktor yang dapat membangun
kedewasaan seseorang. Sebenarnya dari cerita sederhana yang saya paparkan tadi
terekam sebuah hikmah dalam melatih kedewasaan melalui upaya-upaya kecil.
Bagaimana dengan Anda apakah lebih memilih berusaha mendewasakan diri atau
menggerutu yang tak ada unjungnya?Saya pun kembali mengunyah coklat
susu Swiss yang sempat terabaikan karena keasyikan menulis.
Note to myself : being mature is difficult but should be try!