26.6.13

“Mendewasakan diri dari hal paling kecil”

Dinginnya malam ditemani sebatang coklat susu Swiss mengantarkan saya pada sebuah tulisan sederhana. Tulisan ini sebenarnya sebagai latihan untuk saya pribadi tentang sebuah proses menghasilkan karya berupa tulisan. Gampang-gampang susah itu yang saya rasakan ketika menulis. Apalagi dengan mood yang kadang pengaruh banget saat menulis. Belum lagi ketika mau memulai menulis bahkan selama menulis ada saja halangan. Halangan itu bisa saja dari lingkungan sekitar yang bisa mengacaukan keseriusan saat menulis. Memang sebaiknya ketika menulis sebisa mungkin memilih tempat yang tenang, damai, ditemani dengan suguhan musik penyeimbang jiwa dan trik lain yang bisa menambah kenyamanan dan keseriusan saat menulis.

Sempat terlintas di fikiran saya untuk menulis tentang sebuah proses untuk menjadi dewasa. Memang terdengar berat. Well, let’s talk about being mature! Yeayyyy... Sebenarnya jika kita telaah lebih dalam lagi menjadi dewasa itu memang sulit. Dewasa berarti memiliki kematangan fikiran, kebesaran jiwa, kejernihan hati. Siap untuk bersabar apalagi siap tersakiti. Tapi dibalik itu semua, apa yang telah saya rasakan selama 25 tahun ini banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik.

As you know, Puncak masalah terberat dalam hidup saya pernah dialami saat berusia 23 tahun. Pelik.. sakit.. rumit.. putus asa.. yang saya alami kala itu. Rasanya dunia ini sangat tidak bersahabat dengan saya. Tanpa pertolongan Tuhan rasanya mungkin saya tidak akan seperti hari ini. Hari ini saya masih bisa tertawa lepas atas lelucon rekan kantor, menghirup bau tanah saat pagi hari, mendengar suara anjing yang melengking di telinga saya. Oh Tuhan.. tanpa pertolonganMu, mungkin saya akan terus terpuruk kala itu.

Dewasa..satu kata yang gampang diucapkan, hanya butuh beberapa detik, tetapi latihannya seumur hidup. Dewasa cukup dikalahkan dengan satu kalimat saja yaitu “EGO”. Dewasa pun tidak bisa diukur dengan matangnya usia sesorang. Tapi dewasa identik dengan cara pandang kita dalam melihat sesuatu. Saya misalnya dengan segudang pengalaman baik itu buruk maupun baik belum tentu dewasa. Ada beberapa kasus dimana saya tidak dewasa tetapi pada beberapa kasus lain bisa saja saya dewasa menghadapinya. Jadi bukan berarti kita dituntut terus-terusan mendewasakan diri. Mungkin ada kalanya kedewasaan dapat tumbuh perlahan-lahan. Sejatinya memang faktor kesabaranlah dan positive thinking yang menjadi kunci untuk menghadapi orang-orang yang belum dewasa secara maksimal dan melatih kedewasaan kita tentunya.


Pernah saya alami saat salah satu rekan kerja saya meminta tolong menemani ke suatu tempat, tetapi dalam kondisi saya sedang tidak bisa memutuskan saat pukul berapa saya bisa menemaninya. Saya memberikan kisaran waktu padanya untuk bisa bertemu saya saat pulang kerja namun dengan catatan “perkiraan waktu jam pulang kantor”, kebetulan jam pulang kerja kantor saya tidak bisa diprediksi, bisa lebih dari pukul 5 sore tetapi bisa lebih. Ia pun sepakat dengan mengiyakan kondisi saya saat itu. Ketika ia menunggu saya di suatu tempat untuk bertemu tanpa sengaja saya terlambat dan ia mulai kesal dengan keterlambatan saya. Padahal dari awal pembicaraan kan saya sudah bilang untuk mengerti kondisi waktu yang saya punya. Tetapi ketika ia akhirnya berhasil bertemu dengan saya, ia malah menggerutu. Seharusnya dia bisa dewasa menanggapi keterlambatan saya karena kondisi pekerjaan saya yang memang jam pulang kantornya tidak bisa diprediksi. Saya coba memberikan pengertian kepadanya dan akhirnya dia berhasil tidak menggerutu lagi. Jadi selain sabar, positive thinking, juga yang terpenting adalah komunikasi yang tepat. Itu sepertinya faktor-faktor yang dapat membangun kedewasaan seseorang. Sebenarnya dari cerita sederhana yang saya paparkan tadi terekam sebuah hikmah dalam melatih kedewasaan melalui upaya-upaya kecil. Bagaimana dengan Anda apakah lebih memilih berusaha mendewasakan diri atau menggerutu yang tak ada unjungnya?Saya pun kembali mengunyah coklat susu Swiss yang sempat terabaikan karena keasyikan menulis.



Note to myself : being mature is difficult but should be try!

25.6.13

Mempariwisatakan Indonesia






Kondisi negara Indonesia terakhir ini sedang dilanda berbagai macam persoalan. Dari mulai kenaikan harga premium, solar dan sembako. Tentunya persoalan tersebut membuat hati penduduk Indonesia menjadi miris dengan keadaan bangsa yang sedang “galau” ini. Indonesia sebagai negara yang memiliki segudang potensi alam, terasa sangat miskin sekali akhir-akhir ini. Bukan berarti saya pribadi tidak memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi tetapi memang pada dasarnya kondisi di negara saya tinggal ini sedang tidak stabil.

Penyebab mencolok dari keadaan yang carut marut terjadi di Indonesia ini tidaklah bukan karena “KORUPSI”. Bisa dibanyangkan para pejabat yang dengan mudahnya memakan uang rakyat. Dari uang rakyat, mereka pun habiskan uang tersebut untuk hal-hal negatif. “Uang Rakyat” yang seharusnya menjadi balas jasa keringat rakyat jelata yang banting tulang untuk kehidupan berubah menjadi “Uang Haram”.

Tiba-tiba pikiran saya dibayangi sekelebat pertanyaan. Jika memang potensi lainnya tidak dapat diandalkan lagi oleh pemerintah, kenapa sih tidak memanfaatkan potensi dari sektor pariwisata?. Bisa dilihat Negara Singapura, Malaysia, dan Arab Saudi misalnya, walaupun pariwisata bukan menjadi sektor utama perekonomian negara-negara tersebut namun sejatinya dapat menjadi sektor pendukung perekonomian yang memberikan dampak multiplier effect bagi kesejahteraan rakyatnya.

Sebenarnya destinasi wisata di Indonesia cukup beragam, terlebih Indonesia bagian timur seperti Wakatobi, Pulau Weh, Raja Ampat yang ternyata memiliki keindahan yang sungguh luar biasa. Contohnya laut yang biru sangat kontras dengan kehidupan bawah laut yang tenang dan semarak. Potensi-potensi tersebut sebetulnya dapat dimanfaatkan pemerintah.

Tahap awal yang sebaiknya dilakukan pemerintah yakni dengan cara memperbaiki infrastruktur meliputi pembangunan sarana dan prasana pendukung pariwisata. Kemudian pemerintah dapat menyerukan local people guna memperkecil tingkat pengangguran. Melibatkan local people untuk dilatih sebagai pekerja di sejumlah destinasi wisata. Setelah local people diberikan pembinaan dan pelatihan, langkah selanjutnya adalah memberikan edukasi kepada wisatawan mengenai berwisata yang sehat. Sehat bukan berarti hanya dalam fisik saja namun juga sehat dalam jiwa dan pemikiran. Sehat dalam arti selalu menjaga lingkungan ketika berwisata dan mematuhi adat istiadat serta kultur setempat. Idealnya Indonesia bisa berkaca pada Negara Malaysia yang mampu memanfaatkan potensi wisata. Walaupun pada kenyataannya Negara Malaysia banyak “mengklaim” kesenian dan kebudayaan bangsa Indonesia. Bukan berarti Indonesia dapat meniru sikap buruk yang ditunjukan Negara Malaysia, namun idealnya inisiasi mereka memajukan sektor pariwisata sebagai sektor pendukung perekonomian negara dapat menjadi rujukan Negara Indonesia.

Semoga dengan kesadaran pemerintah Indonesia untuk fokus dan concern memajukan sektor pariwisata sebagai sektor pendukung perekonomian Indonesia, lambat laun kondisi bangsa ini dapat berubah. Semakin dikenal sektor pariwisata Indonesia di mata dunia, diharapkan citra dan kondisi bangsa Indonesia dapat segera pulih dari "seonggok" imej negatif.

Mari mempariwisatakan Indonesia 
@zeezeeuzieuzie